Orang Muda Dalam Bingkai Adat, Agama, dan Budaya Lokal MInangkabau
Written By Yulizal Yunus on Jumat, 22 November 2013 | 15.18
Oleh Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo[1]
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM
Sumatera Barat, Ketua Dewan Adat dan Syara’ Nagari Taluk Batangkapas Pesisir
Selatan, Dosen Sastra Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol dan dosen PKn (alumni
Lemhannas 1996), Pemimpin Redaksi SAGA Majalah Minangkabau, Peneliti AP2TI UI alumni LIPI
1981, Peneliti 9 Judul
Buku BAM Padang Panjang, Peneliti 12 Judul Buku BAM Padang, Peneliti 2 Judul
Buku BAM Pesisir Selatan, Ketua Lembaga Penelitian IAIN-IB (2009-2012), Dekan
Fakultas Ilmu Budaya – Adab (2003-2007), Ketua STAI Balaiselasa (1993-2009),
Ketua I KNPI Sumbar dan Ketua I AMPI Sumbar (sampai 1998). Ketua Depidar Wira
Karya Indonesia Sumbar, Soksi Sumatera Barat. Makalah disampaikan sebagai nara sumber pada
Pebekalan Uni Uda – Agama
dan Adat, di Malibou Anai, 13 November 2013.
Tiada episode sejarah tanpa peran pemuda
(tersekolah dan non tersekolah). Pemuda di Minangkabau eksis dalam setiap
limbago adat. Statusya anak dari ayah, kamanakan dari mamak, waktu kecil
menjadi anak atau kamanakan, setelah besar menjadi mamak. Anak kamanakan tidak
terpisah dalam kelembagaan ninik mamak. Dalam kepemimpinannya ninik mamak
mengayomi kamanakan disimbolkan kayu gadang di tangah koto dan atau baringin di
tangah padang. Anak kamanakan dapek balindung di
kerimbunan dedaunnya dari kepanasan dan kehujanan, urek tampek baselo,
batangnyo tampek basanda. Kamanakan dalam suasana nyaman balinduang di keteduhan
leadership ninik mamak mendapat pencerahan dan memotivasi untuk babudi elok
baso katuju (bersih dari dago dagi dan sumbang
salah), berperan menjadi penyejuk hati,
duta dan parik paga di
nagari, memberikan keelokan pada tepian (nagari) dan pagar ayu (seperti uni uda) ibarat bunga yang
digarap tidak layu seminggu, mengerti dan
sadar hukum adat di nagari (Undang Undang dalam Nagari dan Undang Undang nan-
20). Dengan peranan ninik mamak dan rang mudo (anak kamanakan) tidak ada celah
di Minangkabau masuknya orang-orang yang berprilaku intoleransi, pengganggu keamanan dan
bahkan teroris, karena nagari dikawal: malam badanga-danga, siang bacaliak-caliak dan kok jauh
baulangi – kok dakek bakandano.
Inti
Minang adalah nagari. Nagari sebagai wilayah pemerintahan dalam system NKRI
banyak yang mengurus. Namun nagari sebagai subkultur dan geneologis atau inti
Minang itu tak banyak yang mengurus. Kalau tak diurus ninik mamak dan generasi
muda (anak kamanakan) sebagai parik paga nagari, akan lenyapah Minangkabau.
Dalam
beberapa artikel dan makalah, saya sering membentang. Di antaranya makalah “Nagari
dan Pandangan Anak Muda (Menilik Buku “Utopia Nagari Minangkabau” Karya Hasri
Fendi dan Lindo Karsya) di Unand Padang, 27 Mei 2002, membentangkan peran
generasi muda (anak
kamanakan) dalam perahu kelembagaan ninik mamak di nagari.
Kamanakan barajo jo mamak, mamak
barajo jo panghulu, panghulu marajo jo kamufakat, mufakat barajo ka nan
bana, bana manuruik alua jo patuik. Petitih ini membentangkan struktur pemerintahan menurut adat. Kamanakan dan mamak sama-sama
berada dalam hukum adat di
nagari. Jelas sekali yang memegang kekuasaan tertinggi sesungguhnya adalah kebenaran,
dilaksanakan menurut alua dan patuik (alur dan patut). Ninik mamak dengan
kepemimpinannya sebagai seni memberikan motivasi dan menggerakkan anak
kamanakan, merasa nyaman, aman dan damai berperan sesuai fungsi masing-masing.
Mamak santun, kamanakan memuliakan dan bersih dari dago dagi (prilaku
tak hormat), sehingga terwujud kualitas Sumber Daya Manusia (kualitas mamak –
kamanakan) di Minangkabau: mamak disambah urang/ kamanakan dipinang urang
pulo.
I.
Peranan
dan unsur yang berperan di Minangkabau
A.
Pernan
konsep sosiologis dan syarat berperan
Dari sudut pandanga (perspektif) sosiologis peranan itu sebuah
konsep sosiologi. Dari konsep sosiologis ini diketahui ada persyaratan yang
member peluang orang/ kelompok untuk berperan. Setidaknya ada tigak hal yang
membuat orang kondusif berperan: (1) aktifitas dengan berbagai kegiatan, (2)
keduduk/ status jelas dan (3) mempunya charisma dan atau disegani.
Ketiga hal ini akan memberi bentuk kualitas kepada seseorang/
kelompok. Bila ketiga hal ini dimiliki ninik mamak dan kamanakan, maka mereka
akan menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan menguntungkan bagi
keberlanjutan Minangkabau. Mamak akan disambah dan kamanakan akan dipinang
orang pula sebagai pelaksanaan misi nagari dan adat Minangkabau.
B.
Unsur
yang berperan di Minangkabau
Di nagari Minangkabau banyak unsur yang berperan berbasis di
lembaga (dulu) Kerapatan Nagari (KN) sekarang Kerapatan Adat nagari (KAN). Di
antara unur yang terpenting, unsur fungsionaris tali tigo sapilin dan tungku
tigo sajarangan yakni: (1) unsure ninik mamak dipimpin penghulu dan atau datuk,
(2) unsure ulama dipimpin ketua majelis ulama nagari dan atau tuanku, (3)
unsure cadiak pandai dipimpin yang cerdik cendekia dan atau yang piawai. Khusus
unsure ninik mamak berbeda dalam ada salingka nagari. Pada nagari bekas
kerajaan di Minangkabau, Datuk berbeda dengan penghulu, menunjukkan dua limbago
adat yakni limbago paruik dan limbago kampuang. Di dalam kelembagaan penghulu/
datuk secara umum ada urang nan-4 jinih yakni: (a) penghulu, (b) manti, (c)
malin dan (d) dubalang. Di bawah lembaga malim ada urang jinih nan-4 pula
yakni: (a) imam, (b) katik, (c) bila dan (d) qadhi. Dari perspektif fungsi
pengamanan, pemuda berada dalam barisan dubalang yakni sebagai menjaga
ketahanan nagari dan khusu pemuda sebagai parik paga nagari.
Selain itu dari unsure anak kamanakan (nan mudo - generasi muda)
satu sisi menjadi generasi baru membuat elok nagari, di sisi lain yang
bersekolah tinggi masuk kepada cadiak pandai dan kalau sudah besar
(berkeluarga) menjadi mamak atau bapak. Unsur yang tidak kalah pentingnya
adalah Bundo Kanduang bersandiang dengan Bapak (disebut mandeh bapak)
yang di bawah telapak kakinya “sorga anak kamanakan”, karenanya disebut unduang-unduang
ka sarugo (al-jannatu tahta ummahat – sorga di bawah telapak kaki
ibu).
Karena itu semua unsure ini di Minang mempunyai fungsi penting, di
antaranya terlihat dalam kesan bidal orang Minang sbb.:
Elok tapian dek nan mudo
Elok nagari dek pangulu
Elok musajik den tuanku
Elok rumah dek bundo
Khusus Bundo Kanduang sebagai cahayo rumah salendang dunie,
unduang-unduang ka sarugo ialah penyelamat utama mulai dari duniawi (rumah,
masyarakat, bangsa dan Negara) sampai ke akhirat. Karenanya di bawah paying
mamak, kaum ibu yang efektif mengayomi anak kamanakan (pemuda pemudi) dan membuat
mereka budi dan berbudaya santun sebagai modal menyelamatkan masyarakat dan
bangsa.
Ibu (mandeh bapak) ingin paling ingin ka nan elok. Mulai dari anak
sampai ke minantu. Caliak anak pandang minantu,
mato nan condoang ka nan elok. Artinya mandeh bapak sudah dibekali nilai
mencari menantu yang sesuai dengan anaknya sehingga melahirkan anak cucuk nan
elok.
Ibu adalah induak dalam limbago adat paruik dipayungi mamak
(tunganai dan atu datuk) yang disebut pemimpin. Tugasnya penting dalam
memainkan peran memelihara anak kamanakan. Tugas ini tergambar dalam pribahasa
Minang sbb.: Bak ayam indak ba induak,
umpamo siriah indak ba junjuang. Artinya anak kamanakan (rakyat) akan kucar kacir bila tidak
ada atau ditinggalkan pemimpin.
Karenanya
dalam memelihara tugas sesuai dengan fungsi masing-masing pemimpin di Minang,
seorang pemimpin (mamak dan mandeh bapak) yang piawai akan mencari usaha kongsi
alternatif untuk menghidupi anak kamanakan (sejahtera dan aman). Karena di Minang seorang
mamak dan bapak tidak baik hanya menghidupi anaknya sendiri, tetapi
bersama-sama kamanakannya. Anak dipangku kamanakan dibimbing. Anak
dihidupi dengan pencaharian utama dan kamanakan dihidupi dengan pusaka tinggi
dan usaha kongsi untuk anak kamanakan. Kepiawaian pemimpin Minang mencari usaha
kongsi itu dilukiskan dalam sastra Minang: Padi dikabek jo daunnyo, batang
ditungkek jo dahannyo.
Kinerja piawai mamak dan
mandeh - bapak Minang ini merupakan bagian upaya budi elok baso katuju,
meninggalkan jasa baik kepada anak cucu dan masyarakat secara umum. Upaya
meninggalkan jasa ini terlukis dalam sastra Minang: Pulai batingkek naiak,
maninggakan ruweh jo buku, manusia batingkek turun, maninggakan barih jo
balabeh.
II.
Ninik
Mamak dan Peranannya
A.
Ninik
mamak, penghulu dan atau Datuk
Dari perspektif sosilogis, salah satu peluang berperan dengan baik, status/
kedudukan jalas. Pangulu dan atau datuk sebagai pemimpin ninik mamak, didahulukan
selangkah ditnggikan seranting. Mereka punya keduduka kuat dalam kaumnya.
Penghulu tagak di pintu adat, dihormati
sebagai gadang basa batuah.
Dalam berperan penghulu dibantu malin, tempat bamufti (tempat minta
fatwa). Malin justru tagak di pintu
agamo, dihormati sebagai suluah
bendang dalam nagari. Dalam membantu penghulu/ datuk menyelesaikan sengketa,
dibantu manti. Justru manti tagak di pintu susah, dihormati piawai dalam manyalasaikan
silang sangketo anak nagari, tahu ereng jo gendeng, mauleh indak mangasan.
Demikian pula dalam mengeksekusi silang sengketa, penghulu dibantu dubalang, posisinya
tagak dipintu mati, berperan sebagai pengamanan
huru hara, batuhuak ja baparang.
Penghulu duduk dilimbago kaum/ suku/ kampung berperan mengayomi anak
kamanakan baik dari limbago paruik/ jurai sampai ke kaum suku di kampung. Di
limbago nagari di wadah Kerapatan Adat Nagari (KAN) penghulu dimungkinkan
dipercayakan sebagai Pucuak adat dan atau ketua KAN, statusnya berada pada
pucuk pimpinan adat di nagari. Pucuk adat ini setidaknya didukung Datuk ampek
suku, Penghulu andiko di limbago kaum suku di kampung serta urang nan-4 jinih
(+ jinih nan-4) untuk melaksanakan peranannya mengayomi anak kamanakan dan
masyarakat adat di nagari.
Mengayomi dimaksud di antaranya peran menciptakan peluang bagi kamanakan
meningkatkan kesejahteraan dan kualitas serta tuah dalam nagari. Pengulu
menghindari diri mencari keuntungan dalam kaumnya. Ajaran ini diisyaratkan
dalam bidal orang Minang: Mancari
dama ka bawah rumah, mamapeh dalam balanggo, artinya mencari keuntungan ke dalam lingkungan anak kemenakan sendiri di paruik/
jurai dan atau kampung. Justru penghulu serta seluruh ninik mamak memposisikan
diri berperan: Pusek jalo kumpulan ikan,
pucuak usah tarateh, urek ijan taganjak.Artinya pimpinan mulai dari ninik mamak
sampai mandeh bapak (ibu dan bapak) memposisikan diri menjadi tumpuan harapan
dan sumber keteladanan dan contoh yang baik bagi anak kamanakan dan kukuh
menghadapi segala tantangan dalam memimpin anak kamanakan.
Kalau terjadi hal-hal yang dapat menyulut
perasaan dan menyita pikiran, penghulu harus: balawik leba – bapadang lapang.
Raso dibaok naiak, pareso dibaok turun. Artinya penghulu sebagai pemimpin harus luwes, besar jiwa,
lapang dada, cerdas perasaan diseimbangkan dengan kecerdasan berfikir rasional,
sehingga berpotensi sebagai sumber pembentukan pribadi/ karakter berbudi anak
kamanakan.
Cerdas
dalam perasaan dan berfikir diaplikasikan saat menghadapi problema dalam kaum.
Saat melihat fenomena anak kamanakan dan kampung harus dikembangkan, berlaku
petatah/ pepatah: Sayang di anak dilacuti, sayang di kampuang ditinggakan.
Artinya penghulu yang baik tidak membiarkan anak kamanakannya berbuat tidak
baik, ada saat menyangi dengan memberi reward, tetapi tidak meniadakan tindakan
memarahi saat salah dengan funisment yang mendidik. Demikian pula saat
mengabadikan rasa cinta pada kampong (kaum suku), tidak harus
bertopang dagu dan atau berpangku tangan membiarkan kampung melarat, saat harus
meninggalkan kampung, harus dilakukan mencari pengalamanan/ pengetahuan bagi
perbaikan kampung ke depan. Tindakan penghulu seperti ini bagian dari contoh
yang diberikan dalam perannya untuk mendidik anakan kamanakan berbudi.
B.
Mengajar
anak kamanakan babudi elok, basok katuju, sopan dan santun
Anak kamanakan berbudi elok, baso katuju serta
sopan dan santun, tidak tergantung dari tinggi rendahnya ilmu yang dimiliki.
Justru karakter itu menjadi prilaku, bila dilakukan pembiasaan. Penghulu dulu
dalam mendidik kamanakannya babudi elok, dididik di surau suku dengan mengajar trilogi:
adat (buek) dan agama (syara’) serta silat (bela diri dimulai dari kekuatan
silaturrahmi). Seolah surau suku yang dipimpin ninik mamak itu merupakan simbol
budi anak kamanakan.
Salah satu ciri kamanakan berbudi elok dan sopan, terlihat dalam sikapnya,
tak pernah membesarkan diri, meski ia orang besar, tidak meninggikan diri meski
punya ilmu tinggi. Adat Minang mengisyaratkan bagikan padi, makin berisi
makin tunduk, artinya makin besar, makin merendah. Orang Minang mengajari
penghulu dan anak kamanakan mempunyai sikap menghormati orang besar dengan
prilaku tidak membesarkan dan meninggikan diri. Kata orang Minang: barakyat dulu mangko barajo, jikok panghulu bakamanakan.
Kalau duduak jo nan tuo pandai nan usah dipanggakkan. Artinya ketika seorang anak atau
kamanakan duduk bersama orang tua (baik usianya tua mau yang
dituakan/ditinggikan seranting) menghindari diri untuk membanggakan diri dengan
kepandaian, kebesaran dan atau kemuliaan yang dimilik, dan menjatuhkan martabat
oerang yang dibesarkan dalam duduk bersama.
Karenanya
karakter anak kamanakan dengan prilaku baik secara faktual banyak berpangkal
dari didikan mamak dan mandeh bapak. Sering anak salah ditanya orang siapa
mandeh bapaknya, kamanakan tak sopan ditanya orang siapa mamamknya. Orang
Minang mengisyaratkan dalam petatahnya: barajo Buo Sumpu Kuduih tigo jo rajo
Pagaruyuang, Ibu jo bapak pangkanyo manjadi anak rang bautang, artinya
prilaku salah seorang anak kamanakan banyak ditentukan didikan mamak dan mandeh
bapak (ibu – ayah). Karenanya ayah satu sisi juga berperan sebagai mamak di
kampungnya. Rusak adat, ketika ayah hebat, ia memutuskan hubungan anaknya dengan
mamak anaknya itu. Sebab seorang ayah ia juga mamak di kampung ibunya, coba
bayangkan sedihnya hati dan rusaknya adat kalau urang sumando (ayah dari
kamanakannya) memutuskan hubungannya sebagai mamak dengan kamanakananya.
Apalagi sejak kecil mamaknya pernah membantu kamanakannya sekolah, menuntut
ilmu, tiba-tiba sumandonya (ayah kamanakannya itu) gagah dan kaya, tak
memandangnya sebelah mata dan hubungan kamanakan diputus, dan kamanakan tak
pula menghormati mamaknya itu, coba betapa hancurnya hati mamak. Itu yang
disebut orang Minang: bak manggadangkan anak ula, umpamo mamaliharo anak
harimau. Artinya kamanakan kecil dibantu mamak sekolah mencari ilmu, tetapi
setelah ia doktor dengan sekolah nya yang tinggi dan profesor sebagai pangkat
guru besar, pulang kekampung ia jahat kepada mamaknya dan merendahkan mamaknya
disebut tak sekolah, dan membanggakan ayahnya orang hebat. Ia menjadi anak ula
(ular) dan atau anak harimau. Ia lupa ayahnya
juga mamak di kampung bakonya, bagaimana pula kalau ayahnya dilecehkan
kamanakannya, pedih apa tidak hatinya.
Mengajar anak kamanakan berbudi oleh
penghulu, diikuti pencerdasan oleh mandeh bapak dengan melaksanakan ajaran
syara’: melaksanakan rukun iman dan rukun Islam seperti bersyahadat, ibadat
shalat, zakat, puasa dsb. Pepatah orang Minang mengingatkan utang orang tua mengajar
pengamalan agama: biasokan anak-anak jo
sumbayang, aja batauhid sarato iman/ santoso dunia jo akhiraik/ lapeh utang ibu
jo bapak.
Orang tua terutama ibu memberikan jaminan kepada anaknya keselamatan di
dunia dan akhirat. Ibu di Minang bagian dari bundo kanduang. Makna seorang ibu
dalam syara’ (Islam) disebutkan sarugo di bawah telapak kaki ibu, dalam
adat disebut bundo undung-undung ka sarugo. Artinya seperti tadi
disebut: didikan ibu yang baik
membawa anak senang dan
damai di dunia dan sarugo dunia akhirat. Senang dan damai itu disebut sorga.
Karena dalam mendidikan anak, orang tua harus memulai dengan yang baik.
Orang Minang mengisyaratkan: kalau kuriak induaknyo rintiak anaknyo. Artinya ibu bapak yang baik akan
melahirkan anak baik. Makanya nenek moyang Minang berfikir jauh kedepan seperti
mempunyai indra keenam agar tidak meninggalkan anak cucu yang lemah baik dalam
harta (mninggalkan pusaka tinggi0 maupun berperinsip dan berakidah serta
beibadah. Orang Minang mengajarkan: kok alah sampai di hulu, balunlah pulo sacukuiknyo. Dek
kokoh niniak nan dahulu kunci nan limo pambukaknyo. Artinya nenek moyang Minangkabau jauh kedepan
memikirkan kekuatan SDM, kesejahteraan, kemuliaan anak cucuk dengan menggunakan
kelima indranya bahkan memiliki indra keenam.
Terasa benar nenek moyang Minang hidup mulia
mati meninggalkan jasa, dikiaskan dalam petatahnya: mati harimau tingga balang, mati gajah tingga gadiang. Artinya
penuh dengan kemuliaan dan meninggalkan jasa baik bagi anak cucuk (keluraga dan masyarakat), bagian pendidikan mereka kepada generasi
muda sepanjang masa. Nenek moyang tak ingin anak cucunya melarat
disebabkan orang tuanya. Ini tersirat dalam ungkapan: Indomo di Saruaso, Datuak Mangkudun di Sumaniak, sabab anak
jatuah binaso, ibu bapak nan kurang cadiak. Karenanya pula orang Minang di samping mewariskan pusaka tinggi, juga
menyuruh berhemat untuk tidak menjual pusaka tinggi dengan sikap berpoya-poya
dan ba-dunia. Lihatlah dalam petitihnya sbb.:
Dari
ketek mulai baimaik,
untuak
tunaikan rukun kalimo,
baraja
imaik jadi didikan
sanang
santoso akhia kamudian.
Sikap hemat diajari: simpan yang ada dan makan yang tak ada. Artinya yang ada disimpan, untuk dimakan sehari-hari rajin mencari dan sisakan, hematkan dan tabungkan. Dengan sikap hemat menabung dan rajin berusaha keras agar bisa menyisakan pencaharian olah orang tua Minang, banyak maksud yang bisa dicapai, kalau dalam Islam bisa ke Makah naih haji menunaikan rukun Islam kelima.
Dengan cara itu, satu di antara kiat generasi
Minang untuk kuat, berguna dan punya kehormatan. Orang Minang tak ingin anaknya
lemah dan hanya menjadi tenaga cadangan dan tidak utama. Kias orang Minang: calak-calak ganti asah, pananti tukang manjalang datang,
panunggu dukun manjalang tibo. Artinya jangan generasi Minang tidak
memposisikan dirinya sebagai pemeran utama, harus yang utama dan di garda
terdepan diharapkan masyarkat, bangsa dan negara.
III.
Generasi
Muda dan Peranannya
A.
Generasi
Muda itu anak atau kamanakan
Pemuda (generasi muda) dari perspektif basisnya secara kategoris boleh
diklasifikasi dua bentuk, pertama pemuda tersekolah dan kedua non tersekolah.
Yang tersekolah ialah siswa yang berada di jejang terakhir di bangku SMA dan
seluaruh mahasiswa. Pemuda non tersekolah dapat pula dibedakan pada dua posisi,
yakni pertama pemuda fungsional dan kedua pemuda teritorial. Pemuda fungsional
dapat pula dibedakan dalam dua posisi, yakni pertama pemuda berbasis pada
kelembagaan mekanisme sentral dan penyalur aspirasi serta wadah berhimpun seluruh komponen pemuda
seperti KNPI, kedua pemuda berafiliasi politik seperti OKPK, Fatayat NU, Pemuda
Tarbiyah dsb., ketiga pemuda yang berbasis pada kelembagaan sosial seperti OKPI
dan Karang Taruna. Sedangkan pemuda teritorial ialah pemuda yang berada pada
basil wilayah dan subkultur seperti rang mudo di ranah Minang. Secara skematis
Pemuda dari persepektif basis sbb.:
Yang disebut generasi muda di Minang adalah anak dan kamanakan yang
berbasis dalam subkultur pada limbago paruik, kaum/ suku/ kampung dan di
limbago nagari. Mereka anak dari mandeh bapak dan kamanakan dari mamak
dipayungi penghulu/ datuak. Posisi pemuda (kamanakan) dalam basis limbago adat
(geneologis) di paruik/ jurai, kampung/ suku dan nagari dapat digambarkan
secara skematis sbb:
Pemuda (kamanakan) disebut rang/ nan mudo. Kedudukan nan mudo kuat di
Minang, menentukan pula kekuatannya sesuai fungsi yang diberikan adat. Fungsi
nan mudo di Minang, membuat tepian menjadi elok, membuat visi nagari
terwujud: “nagari menjadi aman dan damai” (nagari aman santoso). Kualitas
perannya digambarkan adat : “kamanakan dipinang urang pulo” Artinya
orang menoleh kepadanya, mencerminkan kualitas SDM kamanakan (pemuda) dalam budaya lokal Minangkabau. Kondisioning kualitas
peranan pemuda dalam bingkai adat ini dapat digambarkan dalam skema sbb:
Untuk memelihara fungsi dan martabat nan mudo (bujang dan gadis) orang
Minang merawat prilaku dan mencegah perbuatan sumbang. Seorang gadis duduk
tagak, melihat dan tidur tidak oleh sembarangan. Dalam tagak dan melihat
misalnya, apa kata orang Minang: gadih panagak ateh janjang, gadih
pancaliak bayang-bayang, artinya
anak gadis sumbang kalau sering tagak di janjang dan sering mematut-matut
bayang.
Karenanya pula anak kamanakan di
Minang diajari mana yang sah dan mana yang batal. Yang menunjuk ajarinya adalah
tanggung jawab mamak dan orang tua. Petatah orang Minang menyebut: partamo
lareh nan tinggi, kaduo lareh nan bunta, kalau tak pandai kito
mambimbiang indak katantu sah jo bata. Artinya, kalau bapak/ mamak tidak memberikan bimbingan sungguh-sungguh kepada anak
kamanakan, mereka tidak akan tahu sah dan batal.
Kadang rayuan sesuatu yang batal itu manis. Orang Minang mengingat dalam
bidalnya: Mati samuik karano manisan, jatuah kabau dek lalang mudo. Artinya,
orang sering terpedaya mulut manis dan budi bahasa yang baik. Kadang di luarnya manis, di dalamnya batambiluak. Rayuan manis itu
sering pula tak berakar pada budaya sendiri, tergoda budaya asing, manis di
luar, di dalamnya/ isinya menjatuhkan martabat. Orang Minang mengingatkan nan mudo biaso bimbang, manaruah rambang jo ragu, kalau
batimbo ameh datang, lungga lah ganggam nan dahulu. Artinya, sikap meniru-niru kebudayaan yang tak berakar pada budaya sendiri (asing), yang
isinya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa kita, bahkan menggusur kebudayaan
sendiri sehingga kehilangan pegangan dan jati diri.
B.
Parik paga di
nagari bersih dari dago dagi
Rang mudo (pemuda) di Minangkabau berfungsi sebagai pengkal dini pengganggu
keamanan secara preventif. Karenanya mudo di Minang, agar lebih berfungsi dan
disegani, maka mereka menjaga diri dari tindakan yang memalukan, tidak
melakukan perbuatan sumbang salah dsb. Karena itu dahulu mengajar cerdik mandeh
bapak dan mengajar berbudi sopan santun adalah ninik mamak di Surau. Di surau
ninik mamak/ suku ini diajar trilogi: agama, adat dan silat. Dari tiga
pengetahuan ini dieksplisitkan prilaku sopan santun, budi baik, baso katuju,
tak pernah nan mudo kurang ajar kepada nan tuo seperti prilaku mandago mamak,
tak sopan kepada orang tua dsb. Penghulu punya tanggung jawab memelihara anak
kamanakannya melalui mamak. Kata orang Minang: dago dagi mambari malu, sumbang salah laku paragai. Kalau
lungga ganggam panggulu, cupak jo gantang katasansai.Artinya penghulu harus memegang peraturan
adat dan agama dan memberikan pemahaman dan penghayatan kepada anak kemenakan,
sehingga mereka tidak pernah mandago mamaknya.
Cara-cara orang Minang seperti itu mendidik nan mudo, agar anak muda tahu
menghargai dirinya dan bermanfaat bagi dirinya di samping untuk orang lain.
Yang dihindari orang Minang: bak mamaga karambia condong,
bak ayam baranak itiak, artinya pengetahuan
anak muda tak dapat dimamfaatkan dan tak berfaedah bagi dirinya, mereka
bagaikan lilin membakar diri, orang diuntungkan sementara dirinya dibakar.
Dalam keadaan rang mudo belum bisa mendayagunakan pengetahuan bagi
kebesaran dirinya, saat itu pula mereka sulit berperan sesuai fungsinya parik
paga di nagari. Karenanya, situasi dan pengetahuan yang
dimiliki tak disia-siakan rang mudo untuk memperbaiki mutu kehidupannya. Orang
Minang mengisyaratkan dalam petatahnya: anak-anak kato manggaduah, sabab manuruik sakandak hati,
kabuik tarang hujanlah taduah, nan hilang patuik dicari. Artinya
Ketika suasana sudah baik, keadaan sudah pulih, adalah momentumnya menyempurnakan
kehidupan.
Saat mutu kehidupan sudah baik, martabat kaum sudah terangkat, nan mudo
disukai orang, saat itu fungsi rang mudo muncul dan terangkat. Tetapi
sebaliknya martabat tidak terangkat, rang mudo tak berperan sebagai paga
nagari, menjadi petaka bagi nagari, kamanakan sengsara dan mendorong
kemelararan. Posisi rang mudo yang elok itu mamaga nagari tergambar dari bidal
orang Minang: elok tapian dek nan mudo,
manjadi tuah pandapatan, kalau indak pandai jadi nakodoh alamaik kapa
karam di daratan. Artinya, kalau nan mudo tak
pandai mamaga nagari, membuat kamanakan bagaikan kapal karam di
daratan. tujuan pulau harapanan tidak tercapai justru sebaliknya justru kemelaratan
dan kesengsaraan akan mengambil bentuk kebinasaan pada lingkungan kehidupan di
nagari.
Karena rang mudo juga pemimpin di Minang dengan fungsi sebagai paga nagari
jangan binaso. Kata orang Minang: nan mudo pambimbiang dunia, nan capek kaki ringan tangan,
acang-acang dalam nagari. Artinya para pemuda menjadi harapan masyarakat, bangsa dan negara, di tangan merekalah terletak maju mundurnya bangsa ke depan, karena mereka pemegang tongkat estapet kepemimoinan bangsa masa depan.
Secara empirik, jelas sekali tiada episode sejarah tanpa peran pemuda.
Karenanya pula pemuda harus menghormati dirinya sendiri dengan berprilaku
tenang dan damai tetapi tegas, bijaksana berbudi tinggi tetapi tangkas. Amanat
orang Minang kepada mereka untuk berprilaku:
pado pai suruik nan labiah, samuik tapijak indak mati, alu
tataruang patah tigo.
Artinya dengan keluhuran pribadi, ketangkasan harus tetap dibangun, sekali
layar terkembang pantang surut ke belakang, maju terus pantang mundur selama
tidak melanggar norm agama dan adat.
IV.
Minangkabau:
Mamak dan Anak atau Kamanakan
A.
Sadar
hukum
Orang Minang dalam misi nagarinya,
menginginkan di samping lingkungan lestari, wibawa pemimpin (mamak dan mandeh
bapak) tegak, juga kualitas masyarakat meningkat (kamanakan dipinang urang)
serta gangguan keamanan tidak ada sehingga Nagari aman
santoso (kamtibmas baik dan sejahtera) dan hukum tegak. Justru orang Minang
menjadikan adat sebagai aturan untuk menciptakan tertib sosial dan sadar hukum.
Orang Minang menata dalam petatahnya: dek gantang di Bodi Caniago, ditapuang batu dilicak pinang, dituang adaik kalimbago, dimulai malukih undang-undang. Artinya cara nenek moyang membangun masyarakat dan kampung halamannya adalah membikin adat dan limbagonya menjadi aturan (hukum) yang kuat mengatur tertib sosial.
Aturan (hukum) adat di nagari Minang cukup kuat dalam
menyelesaikan sengketa dalam masyarakat adat, baik perdata maupun pidana (berat
dan ringan). Hukum adat di nagari itu terdiri dari: (1) UU dalam nagari dan (2)
UU nan-20 (terdiri dari UU nan-8 dan UU nan-12).
1.
UU
dalam Nagari:
UU dalam nagari punya perinsip-prinsip hukum sbb.:
Salah tariak mangumbalikan – salah cotok malantiangkan
salah lulua mamuntahkan – salah cancang mambari pampeh
salah bunuh mambari diat – manyalang maantakan – utang
dibayia – piutang ditarimo – jauh hambatan – ampia
batariakan – baabu bajantiak – kuma basasah – sasek
suruik talangkah kumbali – gawa maubah – cabuah dibuang
adia dipakai – babatulan babayaran – balabiah katangah
basalahan bapatuik – buruak dipakai – lapuak dikajangi
usang dipabaharui – racik racik diapik – rusuh babujuk
tangih baantokan – jatuah basambuik – salah kapado Tuhan tobat –
slah kapado manusia mintak mao – siriah dipulangkan kagagangnyo – pinang
bapulangkan katampuaknyo – surang baragiah – sakutu bapapah (babala).
2.
UU-20
UU – 20 terdiri dari UU nan-8 dan UU nan-12, sbb.:
a. Nan-8
:
1)
Tikam – bunuah =
bukti mayat tabujua
2) Upeh – racun
(ramuan racun) = bukti oleh dokter
3) Samun – saka
= merampok di tempat sepi dan membunuh pemilik
4) Maling – curi
= (rampok malam – siang)
5) Sia – baka
= (sunu bukti puntung suluah –
bakar hangus)
6) Umbuak – umbi
= (tipu persuasive – tipu dengan kekerasan)
7) Sumbang – salah = pergaulan salah – asusila
8)
Dago – dagi = salah kapanakan pado mamak – salah mamak
pado kapanakan (musyawarah, mamak berhenti diam-diam, kapanakan tidak demo
kezaliman mamak, meski rajo salah
disanggah…, kalau ada demo tidak orang minang).
b. UU-12 (UU-6 daulu dan UU-6 kudian)
UU-6 daulu (tuduhan)
1)
tatando – tabeti
2) taikek – takungkuang
3) talala – takaja
4) tacancang – tarageh
5) tatambang – ciak
6) tatangkok dengan salahnyo
- UU-6
kudian (cemo) – alasan dugaan
a.
bajajak bak bakiak – basuriah bak sipasin
b.
tabayang
– tatabua
c.
kacondongan
mato nan banyak
d.
anggang
lalu antah jatuah
e.
tasindorong
jajak manurun – tatukiak jajak mandaki
f.
bajajak
barunuik
B.
Tagak
di suku/ kampung dan di nagari
Di Minang, tanggung jawab anak muda pada nagari,
sekarang mulai dimandulkan oleh materil. Serba uang tidak saja merusak upaya penegakan
hukum, tetapi juga merusak perinsip kekeluargaan dan gotong royong. Justru
gotong royong anak muda di jalan raya dibarengi fenomena baru, mencegat mobil dan minta uang. Mental budaya lama bankrut. Budaya lama
yang muda goro dan rundo sudah tidak menggeliat lagi. Orang tua suka senang-senang. Semarak alam
rami anak nagari, tak tahu lagi menghargai nilai. Waktu alek
nagari, mamak, kamanakan dan sumando dihadapkan pada tontonan yang sama “organ
tunggal” dengan artis tak berpakaian menari di pentang. Basulua mato hari bagalanggang mato rang banyak. Sekarang “… budaya hedonisme sudah menjadi bagian
rutin hiburan masyarakat, terutama kalangan muda” (Hasri, Lindo, 2003).
Kadang prilaku itu jadi cemo nagari.
Penghulu seperti tidak berkutik dalam fenomena itu. Penghulu justru tidak
lagi punya surau suku (bahkan balai) menjadi simbol budi di tengah-tengah era
otonomi daerah dengan sistem kembali ke nagari berbasis surau. Surau yang mana
lagi yang boleh menjadi simbol budi bagi ninik mamak. Masjid,
tidak lagi punya malin suluh bendang dalam nagari, ambisi membangun
pisik kuat tak sebanding dengan pemakmurannya (mengisinya) dengan kegiatan dan meramikannya.
Bundo
Kandung dan anak gadis cahayo rumah dan selendang dunia, tidak lagi di
rumah, rmerawat bunga
dan kumbang datang menyentuhnya. Justru, bunga yang mengejar kumbang. Quo vadis budaya dan adat salingka nagari?. Kepastian arah nagari, masih berharap pada tangan lelaki
Minang dengan status kalau tidak kamanakan (di waktu kecil/ muda),pastilah mamak (saat sudah menikah-tua). Lelaki Minang seharusnya
terutama rang mudo, kembali memegang identitas sebagai
lelaki Minang (ketek kapanakan, gadang mamak).
Karenanya semua unsur (mamak dan mandeh bapak dipayungi penghulu) dalam
limbago adat harus kuat, tegas dan piawai dalam berperan memimpin anak
kamanakan. Jangan seperti nasib anggang lalu atah jatuah
balam sadundun jo marabah, Panghulu kalau takicuah, anak kamanakan namuah
tajuah.Artinya, mandeh bapak dan
ninik mamak dipayungi penghulu harus memperkuat perinsip idelogi adat dan
akidah agama, sehingga tak mudah dipengaruhi orang dan budaya
asing, yang berakibat fatal mengakibatkan kehancuran anak kamanakan (rakyat)
yang dipimpinnya. Dijaga mereka agar tidak terperosok ke kancah disintegrasi
sosial, yang sering tergoda rancaknya budaya luar, tanpa memahami sepenuhnya
yang substansinya merusak budaya dan jati diri sendiri, dan meninggalkan budaya
sendiri sebagai identitas yang sudah dipahami dan dibutktikan kemampuannya
efektif mengatur tertib sosial masyarakat adat Minang. Ini satu lagi yang
menjadi peran yang substnsial dimainkan ninik mamak dan rang mudo di Minang.
V.
Penutup
Akhirnya dapat disimpulkan, peran pemuda
bersamaan dengan peran unsur ninik mamak dalam sistem tungku tigo sajarangan. Pemuda
unsur insani penting dalam membangun nagari membangun Minang. Pemuda pemegang
tongkat estapet kepemimpinan nagari ke depan, sebagai ninik mamak (atau ketua
ninik mamak: penghulu/ datuak), ulama (tokoh agama) dan atau cadiak pandai
(dalam berbagai kedudukan: birokrat, politisi, polisi, tentara, eksekutif/
pengusaha dsb).
Membangun Indonesia banyak, tapi
membangun Minang tidak ada yang lain selain peran ninik mamak yang dalam
limbago adatnya mencakup rang mudo. Berperan dimaksud, ninik mamak dan pemuda
aktif dalam berbagai kegiatan untuk membangun nagari, dijago adat jan binaso,
diwujudkan visi nagari seperti disebut Yuzirwan Dt. PGP Gajah Tongga (2009)
yakni: “Bumi Sanang
(lingkungan lestari), padi masak (jaminan ekonomi), jaguang maupiah (jaminan
ekonomi), taranak bakambang biak (jaminan ekonomi), bapak sati (wibawa
pemimpin), mande batuah (wibawa
pemimpin), mamak disambah urang (wibawa pemimpin), kamanakan dipinang urang
pulo (kualitas masyarakat) dan Nagari aman santoso (kamtibmas - sejahtera).
Tak kurang dalam berperan ninik mamak dan pemuda di Minang, tetap membangun
kesadaran dan kearifan secara terus menerus bagi peningkatan kualitas hidup
orang Minang. Limpato batang sitawa,
digulai cubadak mudo, lah biaso kito tasalah, karano pangana indak sakali
tibo, artinya kekilafan
dan kesalahan disadari sebagai sifat manusia tetapi tetap sadar dan terus
berfikir, karena memang pemikiran tidak sekali tumbuh.
Rami pasa koto tuo, rami dek anak kalua pagi, hinggo ini carito kito, nanti
disambung hanyo lai. Salasih di ateh kayu, daunnyo salai-salai jatuah kabawah/
tarimo kasih – thank you and syukran jazila.***
Malibo Anai, 13 November 2013
Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo
[1]Yulizal Yunus Dt. Rajo Bagindo, Ketua V LKAAM Sumatera Barat, Ketua
Dewan Adat dan Syara’ Nagari Taluk Batangkapas Pesisir Selatan, Dosen Sastra
Fakultas Ilmu Budaya – Adab IAIN Imam Bonjol dan dosen PKn (alumni Lemhannas 1996), Pemimpin Redaksi SAGA Majalah Minangkabau, Peneliti AP2TI UI alumni LIPI 1981, Peneliti 9 Judul Buku BAM Padang
Panjang, Peneliti 12 Judul Buku BAM Padang, Peneliti 2 Judul Buku BAM Pesisir
Selatan, Ketua Lembaga Penelitian IAIN-IB
(2009-2012), Dekan Fakultas Ilmu Budaya – Adab (2003-2007), Ketua STAI
Balaiselasa (1993-2009), Ketua I KNPI Sumbar dan Ketua I AMPI Sumbar (sampai
1998). Ketua Depidar Wira Karya Indonesia Sumbar, Soksi Sumatera Barat. Makalah disampaikan sebagai
nara sumber pada Pebekalan Uni Uda – Agama dan Adat, di Malibou Anai, 13 November 2013.